Rabu, 19 November 2008

Berlaksa Ilustrasi

POHON TUA

Suatu ketika di sebuah padang, terdapat sebatang pohon rindang. Dahannya rimbun oleh dedaunan. Batangnya tinggi menjulang. Akarnya, tampak menonjol keluar, menembus tanah hingga dalam. Pohon itu tampak gagah dibandingkan dengan pohon-pohon lain di sekitarnya.

Pohon itu pun menjadi tempat hidup bagi beberapa burung di sana. Mereka membuat sarang, dan bergantung hidup pada batang-batangnya. Burung-burung itu membuat lubang, dan mengerami telur-telur mereka di dalam pohon yang besar itu. Pohon itu pun merasa senang karena ia mendapatkan teman saat mengisi hari-harinya yang panjang.

Orang-orang bersyukur atas keberadaan pohon tersebut. Mereka kerap singgah dan berteduh pada kerindangan pohon itu. Orang-orang itu sering duduk dan membuka bekal makan di bawah naungan dahan-dahannya yang rindang. "Pohon yang sangat berguna," begitu ujar mereka setiap selesai berteduh. Lagi-lagi, sang pohon bangga mendengar perkataan tadi.

Waktu terus berjalan. Sang pohon pun mulai sakit-sakitan. Daun-daunnya rontok, ranting-rantingnya pun mulai berjatuhan. Tubuhnya, kini mulai kurus dan pucat. Tak ada lagi kegagahan yang dulu dimilikinya. Burung-burung pun mulai enggan bersarang di sana. Orang yang lewat, tak lagi mau mampir dan singgah untuk berteduh.

Sang pohon pun bersedih. "Ya Tuhan, mengapa begitu berat ujian yang Kau berikan padaku? Aku butuh teman. Tak ada lagi yang mau mendekatiku. Mengapa Kau ambil semua kemuliaan yang pernah aku miliki?" begitu ratap sang pohon, hingga terdengar ke seluruh hutan. "Mengapa tak Kau tumbangkan saja tubuhku, agar aku tak perlu merasakan siksaan ini?" Sang pohon terus menangis, membasahi tubuhnya yang kering.

Musim telah berganti, namun keadaannya belum berubah. Sang pohon tetap kesepian dalam kesendiriannya. Batangnya tampak semakin kering. Ratap dan tangis terus terdengar setiap malam, mengisi malam-malam hening yang panjang. Hingga pada saat pagi menjelang.
"Cittt ... cericirit ... cittt" Ah suara apa itu? Ternyata, ada seekor anak burung yang baru menetas. Sang pohon terhenyak dalam lamunannya. "Cittt ... cericirit ... cittt, suara itu makin keras melengking. Ada lagi anak burung yang baru lahir. Lama kemudian, riuhlah pohon itu atas kelahiran burung-burung baru. Satu ... dua ... tiga ... dan empat anak burung lahir ke dunia. "Ah, doaku di jawab-Nya," begitu seru sang pohon.

Keesokan harinya, beterbanganlah banyak burung ke arah pohon itu. Mereka, akan membuat sarang-sarang baru. Ternyata, batang kayu yang kering, mengundang burung jenis tertentu tertarik untuk bersarang di sana. Burung-burung itu merasa lebih hangat berada di dalam batang yang kering daripada sebelumnya. Jumlahnya pun lebih banyak dan lebih beragam. "Ah, kini hariku makin cerah bersama burung-burung ini", gumam sang pohon dengan berbinar.

Sang pohon pun kembali bergembira. Dan ketika dilihatnya ke bawah, hatinya kembali membuncah. Ada sebatang tunas baru yang muncul di dekat akarnya. Sang tunas tersenyum. Ah, rupanya, air mata sang pohon tua itu, membuahkan bibit baru yang akan melanjutkan pengabdiannya pada alam.

Teman, begitulah. Adakah hikmah yang dapat kita petik? Allah memang selalu punya rencana-rencana rahasia buat kita. Allah, dengan kuasa yang Maha Tinggi dan Maha Mulia, akan selalu memberikan jawaban-jawaban buat kita. Walaupun kadang penyelesaiannya tak selalu mudah di tebak, namun, yakinlah, Allah Maha Tahu yang terbaik buat kita.

Saat dititipkan-Nya cobaan buat kita, maka di saat lain, diberikan-Nya kita karunia yang berlimpah. Ujian yang sandingkan-Nya, bukanlah harga mati. Bukanlah suatu hal yang tak dapat disiasati. Saat Allah memberikan cobaan pada sang Pohon, maka, sesungguhnya Allah, sedang MENUNDA memberikan kemuliaan-Nya. Allah tidak memilih untuk menumbangkannya, sebab, Dia menyimpan sejumlah rahasia. Allah, sedang menguji kesabaran yang dimiliki.

Teman, yakinlah, apapun cobaan yang kita hadapi, adalah bagian dari rangkaian kemuliaan yang sedang dipersiapkan-Nya buat kita. Jangan putus asa, jangan lemah hati. Allah, selalu bersama orang-orang yang sabar. (Anonim)

TIDAK ADA YANG BESAR BAGI TUHAN


Ada 2 orang pergi memancing. Salah satunya adalah pemancing berpengalaman, sedang yang satunya lagi tidak. Setiap kali pemancing yang berpengalaman menangkap ikan yang besar, dia menaruhnya di kotak es supaya tetap segar. Sedangkan setiap kali pemancing yang tidak berpengalaman menangkap seekor ikan yang besar, dia melemparkannya kembali.

Pemancing yang berpengalaman melihat hal ini berlangsung sepanjang hari dan akhirnya menjadi jemu melihat temannya membuang-buang ikan yang besar. "Kenapa kau kerap membuang kembali ikan besar yang telah kau tangkap?" tanya yang berpengalaman.

Pemancing yang tidak berpengalaman menjawab, "Saya hanya mempunyai sebuah penggorengan yang kecil."

Kadangkala, seperti sang pemancing yang tidak berpengalaman kita membuang rencana yang besar, mimpi yang besar, pekerjaan yang besar, kesempatan-kesempatan besar yang Allah berikan bagi kita. Iman kita begitu kecil.

Kita mentertawakan si pemancing yang tidak menyadari bahwa yang ia butuhkan hanyalah sebuah penggorengan yang lebih besar; tapi apakah kita sendiri sudah siap untuk meningkatkan kadar iman kita kepada Allah?

Baik itu sebuah masalah maupun sebuah kesempatan, Allah tidak akan pernah memberikan engkau sesuatu yang lebih besar daripada yang mampu kau atasi.

Itu berarti kita dapat berjalan dengan penuh kepastian pada setiap hal yang Allah bawa di dalam kehidupan kita. Kau dapat menanggung segala sesuatu di dalam Kristus (Filipi 4:13).

Tidak ada yang terlalu besar untuk Allah. "Berhenti berteriak pada Allah bahwa kau mempunyai masalah yang besar. Katakan pada masalahmu bahwa engkau mempunyai Allah yang besar!" (Anonim)


TUKANG KAYU DAN RUMAHNYA


Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan.

Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan.

Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah dari kami." Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.

Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. (adapted from "The Builder", Unknown)


PELAJARAN DARI SEORANG GELANDANGAN

Hari itu, hari Minggu yang dingin di musim gugur. Pelataran parkir menuju gereja sudah hampir penuh. Ketika aku keluar dari mobilku, aku melihat bahwa teman-temanku sesama anggota gereja saling berbisik-bisik sementara mereka berjalan menuju gereja.

Ketika aku hampir sampai, aku melihat seorang pria terbaring di dinding di luar gereja. Dia tergeletak sedemikian rupa seakan-akan dia sedang tidur. Dia mengenakan sebuah mantel panjang yang robek-robek dan sebuah topi di kepalanya, jatuh ke bawah menutupi wajahnya. Dia memakai sepatu yang kelihatannya sudah berumur 30 tahun, terlalu kecil untuk kakinya, dengan lubang di sana sini, jarinya menyembul keluar.

Kelihatannya pria ini seorang gelandangan yang tidak memiliki rumah (tuna wisma), dan sedang tertidur, sehingga aku terus berjalan ke pintu gereja.

Kami berkumpul selama beberapa menit, dan seseorang menyampaikan tentang pria yang terbaring di luar. Orang-orang mentertawakan dan berbisik-bisik membicarakan masalah ini tetapi tidak ada yang mau mengajak pria itu untuk masuk ke dalam, termasuk aku.

Beberapa lama kemudian kebaktian dimulai. Kami semua menunggu Pendeta yang akan maju ke depan dan menyampaikan Firman Tuhan, ketika pintu gereja terbuka.

Muncullah pria tunawisma itu berjalan di lorong gereja dengan kepala tertunduk.

Semua orang menarik nafas dan berbisik-bisik dan terkejut.

Pria itu terus berjalan dan akhirnya sampai di panggung, dia membuka topi dan mantelnya. Hatiku terguncang.

Di sana berdiri pendeta kami ... dialah "gelandangan" itu.

Tidak ada seorangpun yang berbicara.

Pendeta mengambil Alkitabnya dan meletakkannya di mimbar.

"Jemaat, saya kira tidak perlu bagi saya untuk mengatakan apa yang akan saya khotbahkan hari ini. Jika kamu terus menghakimi dan menilai orang, kamu tidak akan punya waktu untuk mengasihi mereka." (Anonim)


BOLA,PEMAIN, DAN KOMENTATOR


Sore itu beberapa tahun yang lalu, aku sedang asyik nonton pertandingan sepakbola. Final! pasti seru pertandingan itu.

Sampai pada suatu adegan di mana seorang penyerang mendapat umpan dari teman setimnya. Dengan manis dia menghentikan bola yang melaju deras itu, menjaganya dari sergapan lawan. Lalu dengan cantik ia membelokkan bola sekaligus mengecoh penjaga gawang. Ia hanya berhadapan dengan gawang sekitar 12 x 2.25 meter yang kosong melompong setelah ditinggal tuannya.

Penonton sudah bersorak, "Gol!!" Waktu seakan berhenti sejenak. Penyerang itu menendangnya. Dug! Jantungku berdetak lebih keras saat menyadari tendangannya hanya melambung tipis. Aku berteriak, "Goblok!!! Begitu saja tidak gol".

Papaku yang mendengar hanya tersenyum. Ia berkata, "Kamu tidak merasakan apa yang penyerang itu rasakan. Kamu tidak melihat apa yang ia lihat dan kamu tidak mendengar apa yang ia dengar".

"Mungkin saja gawang begitu besarnya yang kau lihat hanya sebesar rumah semut di matanya. Mungkin saja suara pendukungnya terdengar seperti dentingan jarum jatuh saat kau sedang tenggelam dalam keseriusanmu. Dan sesungguhnya, kita tidak berhak mengadili atau menghakimi sesuatu apabila kita tidak terlibat di dalamnya. Karena kita tidak tau apa yang dirasakan oleh para pemain".

Saat jeda pertandingan, komentator ramai menjelaskan analisanya tentang bagaimana gol itu tidak jadi lahir. Rata-rata komentar mereka terdengar lebih pintar daripada sang pemain atau bahkan dari sang pelatih. Papaku berkata, "Komentar apapun tidak akan merubah hasil pertandingan. Karena komentator itu tidak terlibat di dalamnya. Ia tidak akan merasakan suasana pertandingan yang sesungguhnya. Lagipula, apa pemain mendengarkan komentarnya? Selagi para komentator ini mengobral suaranya di sini, pemain mendengarkan instruksi pelatihnya. Yang dapat merubah hasil pertandingan hanyalah para pemain".

Kemudian di telingaku terngiang kalimat yang aku dengar sebelumnya. Dan kali ini kubisikkan pelan-pelan kepada komentator itu, meskipun aku sangat yakin ia tidak akan mendengar, "Dan sesungguhnya, kita tidak berhak mengadili atau menghakimi sesuatu apabila kita tidak terlibat di dalamnya. Karena kita tidak tau apa yang dirasakan oleh para pemain". (Anonim)


BETAPA BERARTINYA KELUARGA

Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga, saya tidak melihat Anda." Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.

Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.

Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.

Ketika saya berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku, "Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi,sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu. Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu, merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."

Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku.

"Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon. Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."

Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."

Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."

Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."

Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.

Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan? Jadi apakah anda telah memahami apa tujuan cerita di atas? Apakah anda tahu apa arti kata KELUARGA?

Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.

FAMILY = (F)ather (A)nd (M)other, (I), (L)ove, (Y)ou


JEJAK KAKI

Semalam aku bermimpi sedang berjalan menyisir pantai bersama Tuhan,
Di cakrawala terbentang adegan kehidupanku,
Pada setiap adegan aku melihat dua pasang jejak kaki dipasir.

Sepasang jejak kakiku dan yang sepasang lagi jejak kaki Tuhan.

Setelah adegan terakhir dari kehidupanku, terhampar di hadapanku

Aku menoleh kebelakang melihat jejak kaki dipasir.
Aku memperhatikan bahwa berkali-kali sepanjang jalan hidupku ,
Terutama pada saat saat paling gawat dan mencekam, hanya terdapat sepasang jejak kaki saja.

Hal ini membuat aku benar benar sangat kecewa, maka aku bertanya kepada Tuhan,

"Tuhan dimanakah Engkau ?
Engkau mengatakan bila aku memutuskan untuk mengikuti Engkau,
Engkau akan berjalan bersama aku sepanjang jalan hidupku.
Namun aku memperhatikan bahwa pada saat saat paling gawat dan beban berat menimpa hidupku,
hanya ada sepasang jejak kaki saja.

Dan aku tidak mengerti mengapa pada waktu aku sangat membutuhkan Engkau, justru Engkau meninggalkan aku."

Tuhan menjawab,

"Anak-Ku, engkau sangat berharga di mata-Ku, Aku sangat mengasihi engkau dan Aku tidak akan meninggalkan engkau.
Pada waktu engkau dalam bahaya dan dalam penderitaan engkau hanya melihat sepasang jejak kaki saja,
karena pada waktu itu Aku menggendong engkau."

Sampai masa tuamu,Yesus Tuhan tetap Dia, dan sampai masa putih rambutmu,Yesus menggendong kamu. (Yesaya 46:4)

HANYA SEDETIK

Beberapa hari yang lalu aku menerima telepon dari salah seorang teman kuliahku yang sudah lama sekali tidak pernah terdengar kabarnya. Pembicaraan yang semula mengenai kegembiraan masa lalu dan acara wisuda yang baru saja ia lalui berubah menjadi pembicaraan yang sangat menyentuh hati ketika ia bercerita mengenai ayahnya.

Kesehatan ayahnya yang memburuk akhir-akhir ini membuat ia harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Karena penyakit yang dideritanya, ayahnya menjadi susah tidur dan sering berceloteh sendiri. Temanku yang sudah beberapa hari terakhir tidak pernah tidur karena menjaga ayahnya menjadi jengkel dan berkata dengan ketus pada ayahnya supaya ayahnya diam dan tidur dengan tenang.

Ayahnya menjawab bahwa ia juga sebenarnya ingin beristirahat karena ia sudah lelah sekali, dan jika temanku itu keberatan menemani dirinya, biarlah ia sendiri menjalani perawatan di rumah sakit.

Setelah berkata demikian, ayahnya menjadi tidak sadarkan diri dan harus menjalani perawatan di ICU (intensive care unit). Temanku begitu menyesal atas kata-kata yang tidak selayaknya keluar dari mulut seorang anak kepada ayahnya sendiri.

Temanku yang aku kenal sebagai orang yang tegar, menangis tersedu-sedu di ujung pesawat teleponku. Ia berkata bahwa mulai saat itu, setiap hari ia berdoa agar ayahnya sadar kembali. Apapun yang ayahnya akan katakan dan perbuat pada dirinya akan diterima dengan senang hati. Ia hanya berharap pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya yang lalu, yang mungkin akan disesali seumur hidupnya.......

Sering kali kita mengeluh ketika menemani atau menjaga orang tua kita hanya dalam hitungan tahun, bulan, hari, jam, bahkan dalam hitungan menit. Tapi pernahkah kita pikirkan bahwa orang tua kita menemani dan menjaga kita seumur hidup kita dan seumur hidup mereka.

Sejak lahir hingga dewasa, bahkan hingga tiba saatnya ajal menjemput, mereka selalu menyertai kita. Ketika pada akhirnya mereka menghadap Sang Kuasa pun, seluruh kenangan yang mereka tinggalkan selalu menyertai selama hidup kita.

Bayangkan betapa hancur hati kedua orang tua kita oleh (hanya) sepatah kata yang singkat, "tidak", yang keluar dari mulut kita ketika mereka berusaha merengkuh kita dalam pelukan kasih sayang sejati, yang justru sering kita lihat sebagai sesuatu yang mengekang dan menahan kita untuk terbang bebas di angkasa.

Entah kata apa lagi yang paling tepat untuk menggantikan kata "tangis" bila tiada lagi air mata yang keluar dari kedua mata mereka, karena telah habis digunakan untuk menyirami hari-hari dalam kehidupan kita agar terus tumbuh dan menghasilkan bunga dan buah yang menyemarakan hari-hari kelam dalam roda kehidupan yang terus berputar.

Kita dapat mulai berjanji pada diri masing-masing bahwa sejak saat ini tiada lagi keluhan yang keluar dari mulut kita ketika menemani dan menjaga kedua orang tua kita. Tiada lagi keluhan yang keluar dari mulut kita ketika merasa meraka terlalu memperlakukan kita seperti anak kecil.

Percayalah, di luar sana banyak orang yang tidak seberuntung kita yang mempunyai orang tua, yang merindukan hal-hal yang kita keluhkan, tetapi tidak pernah mereka dapatkan.

Sebenarnya, hanya sedetik waktu yang dibutuhkan untuk merenung dan menyalakan lentera yang akan membimbing kita ke tempat di mana kedamaian terpendam. Sekarang tinggal tergantung dari diri kita sendiri, maukah kita meluangkan waktu yang sangat singkat itu namun besar artinya untuk sepanjang perjalanan hidup kita. (Anonim)


Anak Kecil Pemain Drum

oleh Charlie Coulson

Saya seorang ahli bedah di Angkatan Tentara Amerika Serikat sewaktu Perang Saudara. Sesudah Pertempuran Gettysburg, terdapat beratus-ratus prajurit yang terluka di rumah sakit tempat saya bertugas. Banyak yang harus diamputasi kaki atau lengannya karena luka-luka yang terlalu parah, dan ada kalanya kedua-duanya, harus diamputasi. Salah seorang dari mereka adalah seorang anak belasan tahun yang baru tiga bulan bergabung dengan angkatan tentara. Karena ia masih terlalu muda untuk menjadi seorang prajurit, ia didaftarkan sebagai pemain drum. Sewaktu para perawat mau memberikan obat bius sebelum operasi amputasi, ia membalikkan kepalanya dan menolak untuk menerimanya. Ketika mereka memberitahunya bahwa itu adalah perintah dari doktor, ia berkata, "Panggil doktor ke mari." Saya menghampiri tempat tidurnya dan berkata, "Anak muda, mengapa kamu menolak untuk menerima obat bius? Ketika saya menemukan kamu di medan pertempuran, saya hampir tidak mengangkat kamu karena kamu sudah sekarat. Tapi ketika kamu mencelikkan mata saya melihat matamu yang biru dan besar, terlintas di benak saya bahwa entah di mana seorang ibu sedang memikirkan anaknya. Saya tidak mau kamu mati di medan tempur, jadi saya membawa kamu ke sini. Tapi kamu sudah kehilangan terlalu banyak darah dan terlalu lemah untuk menjalani operasi ini tanpa obat bius. Sebaiknya kamu ijinkan saya untuk memberinya kepada kamu."

Ia meletakkan tangannya di atas tangan saya, memandang wajah saya dan berkata, "Doktor, pada suatu hari Minggu, ketika saya berumur sembilan setengah tahun, saya menyerahkan hidup saya kepada Kristus. Sejak itu saya belajar untuk mempercayaiNya, saya tahu saya dapat mempercayaiNya sekarang. Ialah kekuatanku, Ia akan menopang saya saat kamu memotong lengan dan kaki saya." Saya bertanya apakah ia mau meminum sedikit minumum keras untuk meringankan rasa sakitnya. Sekali lagi ia memandang saya dan berkata, "Doktor, ketika saya berumur sekitar 5 tahun, ibu saya berlutut di samping saya seraya merangkul saya dan berkata, "Charlie, saya berdoa kepada Yesus agar kamu tidak akan pernah mencicipi setetespun minuman keras. Bapamu mati karena ia seorang pemabuk, dan saya telah meminta Allah untuk memakai kamu untuk memperingatkan orang lain tentang bahaya minuman keras, dan untuk mendorong mereka agar mengasihi dan melayani Tuhan." Saya sekarang berusia 17 tahun, dan saya tidak pernah meminum minuman yang lebih keras dari teh atau kopi. Kemungkinan saya mati dan bertemu dengan Tuhan sangatlah tinggi. Apakah kamu mau mengutus saya ke sana dengan mulut yang berbau minuman keras?" Saya tidak akan pernah melupakan pandangan anak kecil itu saat ia menatap saya pada waktu itu. Pada waktu itu, saya membenci Yesus, tapi saya menghormati kesetiaan anak kecil itu kepada Juruselamatnya. Dan tatkala saya melihat betapa ia mengasihi dan mempercayaiNya sampai pada akhirnya, sesuatu menyentuh hati saya. Saya melakukan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan untuk prajurit yang lain - saya bertanya apakah ia mau bertemu dengan pendetanya.

Pendeta resimen sangat mengenal anak kecil itu karena ia sering mengikuti pertemuan-pertemuan doa di kamp. Ia memegang tangannya dan berkata, "Charlie, saya kasihan melihat keadaan kamu seperti ini." "Oh, saya tidak apa-apa, pak," jawab Charlie. "Doktor telah menawarkan obat bius kepada saya, tapi saya memberitahunya saya tidak membutuhkannya. Lalu ia mau memberikan kepada saya minuman keras, yang juga saya tolak. Jadi sekarang, jika saya dipanggil Juruselamat saya, saya dapat pergi dengan akal budi yang waras dan sehat." "Kamu tidak boleh mati, Charlie," kata pendeta, "tapi jika Tuhan memanggil kamu pulang, apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan bagimu?" "Pak Pendeta, tolong ambilkan Alkitab yang ada di bawah bantal. Alamat ibu saya ada di dalam dan tuliskan surat kepadanya. Beritahu dia bahwa sejak saya meninggalkan rumah, tidak ada satu haripun - apakah ketika saya sedang berbaris di lapangan, di medan tempur, atau di rumah sakit - yang berlalu tanpa saya membaca sebagian kecil Firman Allah, dan setiap hari berdoa agar Tuhan memberkati dia." "Apakah ada hal lain yang dapat saya lakukan bagimu, anakku?" tanya Pak Pendeta. "Ya, tolong tuliskan surat kepada guru sekolah Minggu di Gereja Sands Street di Brooklyn, New York. Beritahu dia bahwa saya tidak pernah melupakan dorongan, nasihat dan doa-doanya bagi saya. Mereka telah membantu saya dan menghiburkan saya selama saya melewati mara bahaya di medan pertempuran. Dan sekarang, di saat-saat menjelang kematian saya, saya bersyukur kepada Tuhan untuk guru tua yang sangat saya kasihi, dan meminta Tuhan agar memberkati dan menguatkan dia. Itu saja."

Lalu, ia menoleh kepada saya, lalu berkata, "Saya siap doktor. Saya berjanji saya tidak akan mengerang ketika anda memotong lengan dan kaki saya, jika anda tidak menawarkan saya obat bius." Saya berjanji, tapi saya sendiri tidak memiliki nyali untuk mengangkat pisau bedah tanpa terlebih dahulu masuk ke kamar saya dan meminum sedikit minuman keras. Ketika memotong dagingnya, Charlie Coulson tidak pernah mengerang kesakitan. Tapi ketika saya mengambil gergaji untuk mengergaji tulangnya, ia menggigit hujung bantalnya dan saya dapat mendengarnya berbisik, "O Yesus, Yesus! Sertailah aku sekarang." Ia memenuhi janjinya; ia tidak pernah mengerang sama sekali. Malam itu saya tidak dapat tidur. Tidak kira ke arah mana saya berpaling, saya melihat mata birunya yang lembut itu. Kata-katanya, "Yesus, sertailah aku sekarang", terus berdengung di telinga saya. Sedikit melewati tengah malam, saya akhirnya meninggalkan tempat tidur saya dan mengunjungi rumah sakit - sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelum itu melainkan terdapat kasus gawat darurat. Saya mempunyai satu kerinduan yang kuat dan aneh untuk melihat anak itu. Ketika saya tiba di situ, saya diberitahu oleh perawat bahwa 16 dari prajurit yang luka parah sudah meninggal dunia. "Apakah salah seorang darinya Charlie Coulson?" saya bertanya. "Tidak, pak," ia menjawab, "Charlie sedang tidur manis seperti bayi." Bila saya mendekati tempat tidurnya, salah seorang perawat memberitahu saya bahwa sekitar jam 9 malam, dua anggota YMCA mengunjungi rumah sakit dan menyanyikan lagu-lagu himne. Pak Pendeta menyertai mereka. Ia berlutut di samping tempat tidur Charlie dan menaikkan doa yang berapi-api dan menyentuh jiwa. Lalu, tetap dalam keadaan berlutut, mereka menyanyikan lagu "Yesus, kekasih jiwaku." Charlie nyanyi bersama mereka. Saya tidak dapat mengerti bagaimana anak itu, yang dalam kesakitan yang begitu amat, dapat menyanyi."

Lima hari setelah saya melakukan operasi tersebut, Charlie memanggil saya, dan dari dialah saya pertama kali mendengar pesan Injil. "Doktor," ia berkata, "waktu saya sudah hampir tiba. Saya tidak mungkin dapat melihat matahari terbit besok. Saya mau mengucapkan terima kasih dengan segenap hati saya untuk kebaikan kamu. Saya tahu kamu seorang Yahudi, dan bahwa kamu tidak percaya pada Yesus, tapi saya mau kamu tetap tinggal bersama saya dan melihat saya mati dan terus mempercayai Juruselamat saya hingga ke saat-saat terakhir hidup saya." Saya coba untuk tetap bersamanya, tapi saya tidak dapat. Saya tidak punya nyali untuk berdiri di situ melihat seorang anak Kristen bersukacita dalam kasih Yesus yang saya benci, di saat maut menjemputnya. Jadi saya dengan terburu-buru meninggalkan kamar itu. Sekitar 20 menit kemudian, seorang perawat menemukan saya di kamar dengan tangan saya menutupi wajah saya. Ia memberitahu saya bahwa Charlie mau bertemu dengan saya. "Saya baru saja menjenguknya tadi," saya menjawab, "dan saya tidak dapat melihatnya lagi." "Tapi doktor, ia berkata ia harus melihat kamu sekali lagi sebelum ia mati." Jadi saya memutuskan untuk pergi dan bertemu dengan Charlie, mengucapkan sedikit kata-kata kasih sayang dan membiarkan dia mati. Bagaimanapun, saya bertekad bahwa tidak ada apapun yang dia katakan tentang Yesus-nya itu yang akan mempengaruhi saya. Ketika saya masuk kembali ke rumah sakit, saya melihat bahwa fisiknya sedang melemah dengan cepat sekali, jadi saya duduk di sampingnya. Ia meminta saya memegang tangannya, ia berkata, "Pak doktor, saya mengasihi kamu karena kamu seorang Yahudi. Teman saya yang paling akrab di dunia ini adalah seorang Yahudi." Saya bertanya, siapa teman akrabnya itu, dan ia menjawab, "Yesus Kristus, dan saya mau memperkenalkan kamu kepadaNya sebelum saya mati. Hendakkah kamu berjanji bahwa apa yang akan saya katakan kepada kamu, tidak akan kamu lupakan?" Saya berjanji, dan ia berkata, "Lima hari yang lalu, ketika Pak doktor memotong kaki dan lengan saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus dan meminta Dia untuk menunjukkan kasihNya kepada kamu." Kata-kata itu sangat menyentuh hati saya. Saya tidak mengerti bagaimana, di saat saya sedang mengakibatkan rasa sakit yang begitu dahsyat pada dirinya, ia dapat melupakan dirinya dan tidak memikirkan apa-apa kecuali Juruselamat-nya dan jiwa saya yang belum bertobat. Yang dapat saya ucapkan pada dia adalah, "Baiklah, anakku sayang, kamu akan segera sembuh." Dengan kata-kata itu saya meninggalkan dia, dan sekitar 12 menit setelah itu, ia tertidur, "aman di dalam pelukan Yesus."

Beratus-ratus prajurit mati di rumah sakit saya sepanjang perang itu, tapi saya hanya menghadiri satu pemakaman, yaitu pemakaman Charlie Coulson. Saya bersepeda sejauh 3 batu untuk melihat ia dikuburkan. Saya mengenakan pakaian seragam yang baru pada tubuhnya dan menempatkan dia dalam peti jenazah khusus untuk perwira, dan menutupi peti itu dengan bendera Amerika Serikat. Kata-kata terakhir dari anak ini meninggalkan satu kesan yang mendalam dalam diri saya. Saya kaya pada waktu itu, namun saya lebih dari rela untuk menyerahkan segala kekayaan saya untuk dapat merasakan perasaan yang Charlie miliki terhadap Kristus. Tapi perasaan tersebut tidak dapat dibeli dengan uang. Tidak lama setelah itu saya melupakan khotbah prajurit Kristen ini tapi saya tidak dapat melupakan orangnya. Memandang ke belakang, saya sekarang tahu bahwa pada waktu itu saya berada di bawah cengkeraman rasa bersalah yang sangat mendalam. Selama hampir 10 tahun saya melawan Kristus dengan segala kebencian seorang Yahudi Ortodoks, sehingga pada akhirnya doa anak kecil tercinta ini terjawab, dan saya menyerahkan hidup saya kepada kasih Yesus.

Sekitar satu setengah tahun setelah pertobatan saya, saya menghadiri satu persekutuan doa pada suatu sore di daerah Brooklyn. Dalam pertemuan ini, orang-orang Kristen sering menyaksikan tentang kasih sayang Tuhan. Setelah beberapa orang selesai menyaksikan pengalaman mereka, seorang perempuan tua berdiri dan berkata, "Teman-teman yang kukasihi, ini mungkin kali terakhir saya membagikan tentang kebaikan Tuhan kepada kalian. Kemarin doktor memberitahu saya bahwa paru-paru kanan saya sudah hampir rusak dan, dan paru-paru kiri juga demikian, saya hanya tinggal waktu yang sedikit bersama kalian. Namun apa yang tersisa pada saya semuanya milik Yesus. Satu sukacita yang besar bagi saya karena tidak lama lagi saya akan bertemu dengan anak saya bersama Yesus di surga. Charlie bukan hanya seorang prajurit bagi negaranya tapi juga seorang prajurit Kristus. Ia terluka di pertempuran di Gettysburg, dan dirawat oleh seorang doktor Yahudi, yang mengamputasi kaki dan lengannya. Ia mati 5 hari telah operasinya. Pendeta resimennya menulis surat kepada saya dan mengirimkan Alkitab anak saya. Saya diberitahu bahwa di saat-saat menjelang kematiannya, Charlie memanggil doktor Yahudi tersebut dan berkata kepada dia, "Lima hari yang lalu, ketika kamu memotong kaki dan lengan saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus bagimu."

Seraya saya mendengar perempuan tua itu berbicara, saya tidak dapat berdiam diri. Saya meninggalkan tempat duduk saya, berlari ke arahnya dan memegang tangannya dan berkata, "Tuhan memberkati engkau, saudari yang terkasih. Doa anakmu sudah didengar dan terjawab! Sayalah doktor Yahudi yang didoakan Charlie, dan sekarang Juruselamat-nya adalah Juruselamat saya juga! Kasih Yesus telah memenangkan jiwa saya!"

Sumber: Dikutip dari buku yang tidak lagi dicetak yang berjudul "Touching Incidents and Remarkable Answers to Prayer." (Peristiwa yang Menyentuh Hati dan Jawaban-jawaban Doa Yang Ajaib)

Tidak ada komentar: